Skip to main content

Sesat Pikir Pemuda Hijrah?





Menurut Dr. Munirul Ikhwan[1], Tren Hijrah adalah konsep yang menyatakan menjadi muslim saja tidaklah cukup. Belakangan doktrin hijrah gampang menjangkiti kelas menengah urban yang frustrasi dan haus inspirasi kesalehan. Budaya kota yang cenderung bebas dan konsumtif membuat pemaknaan atas hidup menjadi bias. Barangkali sebab karena hal ini lah pemuda kelas menengah urban mencari suatu pelarian (eskapisme).
Tetapi, dalam praktik dan realitasnya justru pemuda hijrah masih menjalankan budaya popular. Mereka tetap dengan ringan meng-upload foto-foto yang menunjukkan budaya elitis dan konsumtif. Fakta ini mengindikasikan bahwa benar ada kegundahan massal pada pemuda yang ingin mengeksplorasi Islam, namun di sisi lain mereka tidak ingin kehilangan budaya populer modern (Popular Culture) yang selama ini mereka kerjakan[2].
Selain terang-terangan menunjukkan budaya populer, konsumtif, dan elitis, beberapa pemuda hijrah pun terangan-terangan pula menunjukkan budaya ‘bucin’. Dalam pandangan saya, bucin adalah suatu ekspresi atas nama cinta yang pada hakikatnya pelaku minus pemahaman filsafat cinta. Pembaca yang adil, pasti sering mendengar kritik dari berbagai kalangan bahwa pemuda hijrah sarat akan kata yang berbau percintaan, pernikahan, dan sejenisnya. Bagaimana mungkin pemuda hijrah mau mendakwahi ‘pemuda nakal’ yang bacaannya Karl Marx, Asghar Ali, Ibnu Khaldun, Muhammad Abduh, Hamka, kalau kerjaannya saja ngebucin?
Fakta lain yang sering membuat saya miris, pemuda hijrah sering mengatasnamakan ‘romantisme islami’. Memang, tidak salah secara syariat, tetapi pandangan semacam ini berpengaruh kepada cara pandangannya terhadap realitas. Romantisme selain kepada Allah hanyalah bersifat semu. Bagaimana mungkin dengan terangan-terangan mereka mengumbar keromantisan di layar publik atasnama pacaran halal. Selain akan menyakiti orang-orang yang memiliki ekspektasi tapi terhalang fakta, juga akan melunturkan nilai lain yang lebih serius. Karena saking terlenanya atas romantisme-islami sampai melupakan bahwa Islam itu harus bersifat transitif, Islam bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi manfaatnya harus menyentuh ranah sosial.
Misalnya, hal lainnya yang belum lama buming, yaitu tentang lagu yang berjudul ‘Aisyah Istri Rasulullah’. Kita mengapresiasi si pembuat lagu karenanya nama Rasulullah dan Aisyah ra di dengar berjuta kali. Tetapi, dampak dari lagu ini sangat besar. Lagu ini menonjolkan keromantisan Rasulullah dengan Aisyah ra, alih-alih pendengar berpotensi menerka-nerka wujud Aisyah ra secara fisik. Padahal, ada sisi lain yang lebih berguna bagi peradaban ini yang dapat di kemukakan dari seorang Aisyah ra, misalnya kecerdasannya dan keberaniannya.
Pemuda Hijrah seringkali mengemukakan pendapat yang kadang tidak melalui proses perenungan. Sehingga dapat tampak jelas baik dari ekspresi atau narasinya sarat kenaifan.
Sejujurnya, jalan hijrah adalah mulia.
Tapi sayang, sebagian memilih jalan ini tanpa melalui proses berpikir dan merenung. Mereka mendeklarasikan kehijrahannya dengan pikiran dan hati yang sepenggal-sepenggal. Maka tidak heran, jika akan mudah kita temui yang tidak bertahan lama dalam kehijrahannya. Mereka yang tidak bertahan lama itu sering berargumen ‘hidup adalah pilihan’ atau ‘kau tidak mengerti’. Bukan kita sedang mengurusi hidup mereka, apa yang mereka lakukan menentukan pendapat publik atas Islam (bukan atas pribadi mereka). Pemuda hijrah mendakwah dan menasehati melalui status media sosial dengan kondisi kepala sesat pikir (fallacy of thinking, berpikir sepenggal-sepenggal). Sesat pikir ini membuat mereka mengekspresikan sesuatu yang remeh-temeh dan tidak esensif. Ketidakkokohan pikiran dan hati ini lah yang membuat beberapa dari mereka tidak bertahan lama dalam kehijrahan.
Mereka tidak akan pernah menyadari kekeliruan gerak mereka. Karena disana terjadi sesat pikir. Ia memilih jalan hijrah bukan berasal dari proses renungan mendalam dan hati yang jujur. Tetapi atas motif-motif.
Andaikan pemuda hijrah yang jumlahnya banyak itu–terbukti dengan bejibun-nya mereka setiap kali menghadiri suatu acara, andai mereka mau menyelesaikan persoalan kediriannya atau sekurang-kurangnya menyadarinya dan berburu melakukan perbaikan pikiran dan niat. Lalu menyadari bahwa Islam bukan hanya persoalan ritus, tetapi Islam juga membahas persoalan sosial, politik, dan juga pendidikan. Serta mengubah pandangan bahwa mendiskusikan negara jauh lebih penting daripada bicara pra-nikah dan romantisme-Islami. Kesadaran ketuhanan tidak berarti kaffah jika tidak dibarengi kesadaran kemanusiaan. Jika sudah begini, saya yakin pemuda kiri dan pemuda liberal akan menimbang kembali untuk meremehkan pemuda hijrah.
Sebab, apa yang terjadi saat ini. Pemuda kiri dan pemuda liberal memandang ‘pemuda hijrah’ sebelah mata karena ia tidak kokoh dalam pikiran dan hatinya.

Sumber:
[1] Dosen pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Baca selengkapnya di artikel “Tren Hijrah Anak Muda: Menjadi Muslim Saja Tidak Cukup” (Tirto.id, akses 12 Mei 2020)
[2] Geotimes.co.id/akses 12 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Islam Tidak Perlu Sufiks -Isme

Oleh : Agung hd Kata Islam merupakan kata benda (masdar) dari kata kerja aslama [fi’il madhi/waktu lampau] dan yaslimu [fi’il mudhari’]. Kata Islam berarti tunduk, patuh, pasrah, berserah diri, damai, dan selamat. Semua makhluk yang ada di bumi berislam [berserah diri, patuh, dan tunduk] kepada Allah Swt. Mereka semua bersujud, tunduk, dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Seorang muslim yang taat akan terima dan ikhlas atas aturan yang telah ditetapkan oleh Alllah Swt. Ini merupakan konsep dari keberserahan diri yang ada pada pengertian Islam itu. Penolakan pada satu saja aturan satu saja aturan Allah Swt. Menunjukkan sikap ketidakberserahan secara menyeluruh. Dan penolakan atas hukum Allah Swt. Berarti mengingkari-Nnya. Secara terminologis, Islam adalah agama yang di turunkan oleh Allah Swt. Kepada Rasulullah SAW. Melalui perantaraan malaikat Jibril untuk di sampaikan kepada manusia sebagai bimbingan, petunjuk, dan pedoman hidup demi keselamatan dunia akhirat. Karena Islam

Manusia Itu Laut

Perlu kita pahami bahwa manusia (Mikrokosmos) adalah miniatur alam semesta (Makrokosmos); luas, dalam dan tidak dapat di jangkau sepenuhnya. Maka menyerang kepribadian seseorang secara liar bukan lah keputusan yang arif. Engkau boleh membedah manusia dengan pisau bedah yang bernama Psikologi, Filsafat, Antropologi atau apapun itu. Tapi engkau juga harus mengerti, manusia bukan lah buku yang bisa kau tuntaskan; manusia itu lautan. Apabila kau temui suatu titik dimana seolah-olah engkau memahami seseorang, tidak lain itu hanyalah bersifat dugaan, atau kecuali hanya sebagian kecil dari keseluruhan tentangnya. Mungkin engkau pernah mendengar. Bahwa setiap manusia memiliki satu, dua atau lebih hal yang hanya ia dan Tuhannya yang tahu — dalam kata lain, ia merahasiakannya. Terlepas dari motif dibaliknya. Itu lah mengapa manusia di sebut lautan atau miniatur alam semesta. Manusia menyimpan sebuah potensi. Dan apabila potensi itu mengemuka, dapat memberi dampak besar kepada lu

Stasiun Jakarta Kota

Sesampainya di stasiun Jakarta Kota siang itu ia berjalan ke arah kursi panjang dengan raut sumringah, lalu ia duduk. Ia duduk dengan posisi yang anggun menandakan bahwa ia seorang yang santun. Sesekali ia membuka HP, sesekali ia membaca buku. Tanpa memerdulikan pandangan orang-orang ia duduk selama beberapa waktu. Hari itu stasiun tidak terlalu ramai, karena memang itu adalah hari minggu. Pada hari minggu biasanya orang-orang Jakarta memilih berlibur ke puncak atau menghabiskan waktu di rumah, udara Jakarta kurang bersahabat buat bermain-main. Namun siang itu udara agak sejuk, karena langit di luar sana mendung. Tetapi iklim Jakarta tetaplah kekanakan, sulit di duga akhirnya. Laki-laki itu beranjak dari kursi dan berjalan menyusuri tembok stasiun sembari melihat-lihat sekitaran. Wajahnya sumringah memancarkan semangat harapan. “ Menunggu satu jam bukanlah waktu yang lama untuk sebuah hal penting. ” Bisiknya dalam hati. Ia sedang menunggu seorang perempuan. Tiga tahun lalu di