Laki-laki itu beranjak dari kursi dan berjalan menyusuri tembok stasiun sembari melihat-lihat sekitaran. Wajahnya sumringah memancarkan semangat harapan. “Menunggu satu jam bukanlah waktu yang lama untuk sebuah hal penting.” Bisiknya dalam hati.
Ia sedang menunggu seorang perempuan. Tiga tahun lalu di stasiun ini mereka bersepakat tiga tahun lagi akan bertemu di tempat yang sama pada jam dan tanggal yang telah di tentukan untuk membicarakan pernikahan, setelah laki-laki itu menyelesaikan kuliahnya. Selama proses menunggu itu, si perempuan tidak mengizinkan laki-laki itu untuk menghubunginya, kecuali untuk perkara penting. Dengan alasan menjaga kaidah pergaulan di dalam Islam. Karena laki-laki itu seorang aktivis di organisasi pergerakan Islam, dan perempuan itu seorang yang sedang bergerak menuju perbaikan diri. Maka mereka saling mengerti untuk hal ini.
Sembari menyusuri ruangan stasiun itu ia membayangkan dan berbicara pada dirinya sendiri tentang keluarga kecil dengan kehidupan yang sempurna “Jika kami sudah menikah, aku akan membawanya ke Pulau Sirandah dan bermalam selama beberapa hari. Bukan hanya itu, setiap pagi akan ada yang membuatkan ku sarapan. Dengan wajah penuh senyum ia membawakan sepotong roti ke hadapan ku. Lalu aku memakannya sambil memandangi wajahnya. Ia membersihkan serpihan roti yang tertinggal di sudut bibir ku dengan bibirnya.
Di suatu malam yang dingin di kamar yang mungil, aku duduk membaca buku di meja kerja. Ia menemani ku sambil memasukkan potongan apel ke dalam mulut ku dengan jari jemarinya yang manis. Lalu kami berdiskusi tentang seorang anak yang akan menemani kami nanti, dan menakar satu persatu nama yang bagus untuknya,”
laki-laki itu menggerakkan kepala dan mengusap wajah mengingat khayalan itu hanya tinggal selangkah lagi akan terwujud. Tentunya selepas ia menemui wanita itu dan membicarakan tanggal pernikahan. Lalu ia melanjutkan khayalannya yang semakin liar “Kami belajar bersama setiap hari. Dia menemaniku sampai larut malam apabila aku memiliki pekerjaan menumpuk. Aku pun akan menemaninya apabila ia sulit tidur, dan memberinya cerita-cerita lucu yang menggairahkan.”
Laki-laki itu terus berkhayal tentang banyak hal hingga tanpa di sadari ia telah berkhayal terlalu jauh. Ia melihat jam tangannya telah menunjukkan pukul tiga sore. Ia kembali ke tempat duduk dan melanjutkan penungguannya.
Setelah beberapa saat wajahnya mulai menunjukkan kekhawatiran. Hatinya bertanya-tanya mengapa yang di tunggu belum juga datang. Sebenarnya pagi-pagi tadi ia sudah menghubungi perempuan itu melalui pesan singkat whatshapp, tetapi tidak ada balasan. Sebelum ia berangkat menuju stasiun Jakarta Kota ia menghubunginya kembali, tidak ada juga balasan. Ia berpikir barangkali perempuan itu sedang sibuk sehingga tidak sempat menyentuh HP-nya. Ia berkeyakinan perempuan itu tidak akan melupakan janjinya. Maka ia pun berangkat menuju stasiun Jakarta Kota dengan setumpuk harapan.
Laki-laki itu kembali membuka buku dan membacanya. Berlembar-lembar sudah terlewati. Perempuan itu belum juga datang. Ketika tengah membaca, tiba-tiba seorang laki-laki menepuk pundaknya dari belakang. Laki-laki itu duduk di sebelahnya.
“Ardi, sudah berapa lama menunggu?” tanya laki-laki yang baru saja datang.
“Sejak pukul satu,” jawabnya “Maaf, kamu siapa?”
“Tidak terlalu penting dengan nama saya. Saya ingin menyampaikan amanah ini,” sembari menyodorkan selembar kertas “Di dalam itu ada pesan dari seseorang yang sedang engkau tunggu. Dia meminta maaf karena tidak dapat menemuimu. Tetapi dia tidak lupa dengan janjinya, untuk menghormatimu, surat ini mewakili kehadiran dirinya di stasiun ini.” Di saat Ardi kebingungan dengan perkataan laki-laki itu. Laki-laki itu pamit dan melangkah pergi. Ardi memperhatikan langkah laki-laki itu, tubuhnya tinggi, wajahnya cerah, tampaknya laki-laki itu orang baik.
Ia membaca surat itu dengan mata yang meredup, hatinya bergetar hebat.
“Ardi, selamat atas kelulusan kuliahmu. Aku tahu kau akan dapat menyelesaikan rintangan meski seorang diri. Maaf aku tidak dapat menemuimu sesuai dengan kesepakatan kita tiga tahun lalu. Aku tahu kau akan amat marah ketika membaca surat ini. Empat bulan yang lalu seorang temanmu di dalam kepengurusan organisasi yang juga teman dekat ku menemuiku. Ia menyampaikan bahwa kau adalah laki-laki yang penuh ketabahan dan kesungguhan, kau tidak kurang dari segi sifat apapun kecuali satu; kau seorang pemberang. Ardi, katamu kau ingin membangun peradaban kecil dan memiliki seorang anak pejuang keadilan, menurutmu bagaimana membentuk anak berwatak adil dari benih pemberang? telah banyak informasi itu sampai kepadaku, tetapi semua itu ku tepis sampai kemudian kawanmu mengabariku. Perlu kau tahu telah berjatuhan air mata ku mengingatmu, ketangguhanmu tiada setara dari setiap laki-laki yang pernah ku jumpai. Tapi Ardi, aku seorang perempuan yang jauh dari sifat humor, aku tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya kalau kita hidup dalam satu rumah. Tahun lalu aku pernah memberitahumu ada seorang laki-laki yang melamarku yang sempat ku tolak karena kau. Ternyata ia masih setia menanti sama seperti aku menantimu selama ini. Maka setelah ku pikirkan berhari-hari dan telah kering air mataku, serta telah ku ketahui perwatakannya, ku putuskan untuk menerima lamarannya. Laki-laki itu baru saja mengantarkan surat ini ke tanganmu. Kami menikah satu bulan lalu. Sekali lagi, maafkan aku.” Dari Sarah
Comments
Post a Comment