Skip to main content

Ibnu Khaldun dan Hakikat Kekuasaan Politik







Abdurrahman Ibn Khaldun al-Maghribi al-Hadrami al- Maliki atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Khaldun adalah seorang ulama terkemuka yang hidup pada abad pertengahan atau tepatnya masa kekuasaan bani Mamluk antara abad ke-8 dan 9 H. Ia dikenal pula sebagai seorang ilmuwan muslim yang ahli dibidang sejarah, sosiologi, politik, dan ekonomi.
Dewasa ini di tengah masyarakat apabila mereka diskusi mengenai kekuasaan dan politik cenderung mengeluarkan pendapat-pendapat yang negatif. Hal ini bukanlah tanpa sebab, karena dalam praktiknya kekuasaan dewasa ini hanya alat bagi para politisi buat mencapai kepentingan-kepentingan atas dirinya, keluarga, dan gengnya. Tidak harus jauh-jauh kepada kekuasaan tingkat negara tetapi cukup kita saksikan realitas ini di tingkat desa. Maka, realitas kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi itu tidak jauh dari yang dibawahnya karena ia berada dalam satu sistem. Apa yang masyarakat diskusikan ini merupakan praktik dari kekuasaan, ada pula beberapa orang dari masyarakat yang mendiskusikan fakta kekuasaan pada tingkatan praktik dan sistem, meskipun dapat di hitung jumlahnya. Beberapa orang menyebut fakta kekuasaan dewasa ini cenderung zalim, sebab ia tidak mampu mengangkat keadilan sebagai tujuan pokok dari pemerintahan umum. Bahkan pada fakta yang lebih ekstrim beberapa politisi menggunakan jabatan politik sebagai arena bisnis, sehingga tak segan melancarkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Padahal inti dari kekuasaan adalah untuk mengatur dan memenuhi hajat kehidupan umat manusia. Dalam islam kekuasaan itu tidak hanya memenuhi tujuan dunia semata tetapi ia juga menyangkut persoalan akhirat.
Di dalam bukunya yang berjudul ‘Mukaddimah’ pada salah satu pasalnya Ibnu Khaldun membahas tentang kekuasaan, kekhalifahan, dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Kita semua sebagai seorang muslim menyepakati bahwa Allah menciptakan manusia bukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia saja. Karena bagaimanapun manusia akan mati dan menuju alam akhirat. “Apa engkau mengira bahwa kami menjadikan engkau sia-sia.” (al-Mukminun:115)
Menurut Ibnu Khaldun penciptaan manusia memiliki maksud untuk membuat ia bahagia di akhirat kelak.
Manusia tidak mungkin terlepas dari kehidupan bermasyarakat sehingga ia membutuhkan suatu pemerintahan yang mengatur dan memenuhi segala hajatnya.  Namun, pemerintahan tersebut tidak boleh lepas dari syariat. Dalam arti lain, kekuasaan harus berjalan berdasarkan aturan-aturan agama sehingga masyarakat dapat terlindungi dengan aturan-aturan tersebut. Diatas telah kita sebut bahwa penciptaan manusia sejurus dengan kepentingan dunia dan akhirat. Maka dalam hal ini kekuasaan yang berdasarkan syariat bukan hanya melindungi dan menyelamatkan manusia dari persoaln dunia tetapi juga akhirat. Pada masalah duniawi manusia harus makan, minum dan berpendidikan, kekuasaan (penguasa) harus turut serta dalam memenuhi kebutuhan tersebut sebagi kebutuhan dasar untuk hidup dan berkehidupan. Pada masalah akhirat manusia harus menjalankan setiap kehidupannya berdasarkan aturan-aturan syariat, hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan syariat maka akan mendapatkan konsekuensi. Agar manusia tetap terkendali didalam hal ini maka penguasa harus menerapkan aturan-aturan yang menjauhkan manusia dari berbuat zalim dan aniaya kepada dirinya, kepada sesama manusia dan kepada agamanya. Kekuasaan yang berdasarkan kesewenang-wenangan, saling menguasai, dan jauh dari syariat merupakan kebijakan yang sesat dan tercela serta akan menimbulkan kerusakan. Hal ini lahir apabila hukum-hukum pada suatu pemerintahan dirumuskan oleh para cendekiawan, para pemimpin kerajaan dan para pakarnya berdasarkan akal murni. Sementara apabila diturunkan dari syariat Allah maka dikatakan sebagai hukum agama yang dapat bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Dan menurutnya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum politik dan aturan-aturan yang jauh dari petunjuk Allah merupakan suatu ketercelaan. Karena Allah sebagai pembuat hukum lebih mengetahui kepentingan-kepentingan seluruh makhluk-Nya. Hal ini berkenaan dengan adagium bahwa islam adalah rahmat bagi semesta. Siapa yang lebih mengetahui alam ini selain penciptanya?
Selanjutnya, dampak dari syariat ini tidak lain untuk mendorong umat manusia berada dalam aturan-aturan syariat demi kebaikan dunia dan akhirat. Kekuasaan yang berdasarkan syariat ini harus diberikan kepada yang mampu dalam mengembannya, merekalah para Nabi dan khalifah sebagai penggantinya (Khalifah Rasulullah).
Menurut beliau, karakter dasar pemerintahan cenderung memerintah berdasarkan tujuan dan keinginan naluriahnya. Sedangkan kekuasaan politik cenderung memerintah masyarakat berdasarkan akalnya. Yakni, sebatas mendatangkan kebaikan dunia semata—padahal tidak jarang pula kekuasaan yang berdasarkan akal itu mendatangkan keburukan bagi manusia dan alam. Namun beliau berkata pula, bahwa kekuasaan memang memiliki konsekuensi atau akibat. Kekuasaan bisa menimbulkan kerusakan, pemaksaan, kezaliman, dan tenggelam dalam kesenangan dunia. Tetapi disisi lain kekuasaan yang berdasarkan syariat memuji sifat keadilan, tenggang rasa (toleransi), dan menjalankan ajaran-ajaran agama serta mengaplikasikan hal tersebut dalam realitas kehidupan (kekuasaan). Kekuasaan kekhalifahan cenderung memerintah berdasarkan syariat, baik buat kepentingan-kepentingan akhirat maupun dunia. Karena pada hakikatnya kekhalifahan itu merupakan wakil Allah dalam menjaga agama dan kehidupan dunia. Serta seluruh aktivitas dunia hanyalah sebagai piranti untuk mencapai kehidupan akhirat.
Dari penjelasan diatas maka dapatlah kita tarik benang merahnya. Bahwa kekuasaan dewasa ini dirumuskan jauh daripada syariat yang diturunkan Allah. Kekuasaan dewasa ini tidak memiliki pengendali yang dapat mengendalikan tangan fananya dari berbuat zalim. Ketidakadilan yang tampak nyata dalam kehidupan yang dibawah kekuasaan tersebut merupakan bukti nyata, bahwa ia harus memiliki pijakan yang berdasarkan syariat. Apabila kemudian beberapa orang menyatakan bahwa kekuasaan itu tidak harus berdasarkan syariat maka ia telah terjebak baik dalam pandangan yang naif atau karena kepentingan-kepentingan semu. Dalam jumlah masyarakat yang ratusan bahkan milyaran juta jiwa itu, akan sangat sulit bagi mereka mengangkat keadilan, dan menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat apabila kekuasaan itu dibangun berdasarkan akal murni. Seperti yang telah kita sebutkan diatas bahwa hanya penciptalah yang paling mengerti maksud dan pengaturan atas ciptaannya (Nya).

Comments

Popular posts from this blog

Islam Tidak Perlu Sufiks -Isme

Oleh : Agung hd Kata Islam merupakan kata benda (masdar) dari kata kerja aslama [fi’il madhi/waktu lampau] dan yaslimu [fi’il mudhari’]. Kata Islam berarti tunduk, patuh, pasrah, berserah diri, damai, dan selamat. Semua makhluk yang ada di bumi berislam [berserah diri, patuh, dan tunduk] kepada Allah Swt. Mereka semua bersujud, tunduk, dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Seorang muslim yang taat akan terima dan ikhlas atas aturan yang telah ditetapkan oleh Alllah Swt. Ini merupakan konsep dari keberserahan diri yang ada pada pengertian Islam itu. Penolakan pada satu saja aturan satu saja aturan Allah Swt. Menunjukkan sikap ketidakberserahan secara menyeluruh. Dan penolakan atas hukum Allah Swt. Berarti mengingkari-Nnya. Secara terminologis, Islam adalah agama yang di turunkan oleh Allah Swt. Kepada Rasulullah SAW. Melalui perantaraan malaikat Jibril untuk di sampaikan kepada manusia sebagai bimbingan, petunjuk, dan pedoman hidup demi keselamatan dunia akhirat. Karena Islam

Manusia Itu Laut

Perlu kita pahami bahwa manusia (Mikrokosmos) adalah miniatur alam semesta (Makrokosmos); luas, dalam dan tidak dapat di jangkau sepenuhnya. Maka menyerang kepribadian seseorang secara liar bukan lah keputusan yang arif. Engkau boleh membedah manusia dengan pisau bedah yang bernama Psikologi, Filsafat, Antropologi atau apapun itu. Tapi engkau juga harus mengerti, manusia bukan lah buku yang bisa kau tuntaskan; manusia itu lautan. Apabila kau temui suatu titik dimana seolah-olah engkau memahami seseorang, tidak lain itu hanyalah bersifat dugaan, atau kecuali hanya sebagian kecil dari keseluruhan tentangnya. Mungkin engkau pernah mendengar. Bahwa setiap manusia memiliki satu, dua atau lebih hal yang hanya ia dan Tuhannya yang tahu — dalam kata lain, ia merahasiakannya. Terlepas dari motif dibaliknya. Itu lah mengapa manusia di sebut lautan atau miniatur alam semesta. Manusia menyimpan sebuah potensi. Dan apabila potensi itu mengemuka, dapat memberi dampak besar kepada lu

Stasiun Jakarta Kota

Sesampainya di stasiun Jakarta Kota siang itu ia berjalan ke arah kursi panjang dengan raut sumringah, lalu ia duduk. Ia duduk dengan posisi yang anggun menandakan bahwa ia seorang yang santun. Sesekali ia membuka HP, sesekali ia membaca buku. Tanpa memerdulikan pandangan orang-orang ia duduk selama beberapa waktu. Hari itu stasiun tidak terlalu ramai, karena memang itu adalah hari minggu. Pada hari minggu biasanya orang-orang Jakarta memilih berlibur ke puncak atau menghabiskan waktu di rumah, udara Jakarta kurang bersahabat buat bermain-main. Namun siang itu udara agak sejuk, karena langit di luar sana mendung. Tetapi iklim Jakarta tetaplah kekanakan, sulit di duga akhirnya. Laki-laki itu beranjak dari kursi dan berjalan menyusuri tembok stasiun sembari melihat-lihat sekitaran. Wajahnya sumringah memancarkan semangat harapan. “ Menunggu satu jam bukanlah waktu yang lama untuk sebuah hal penting. ” Bisiknya dalam hati. Ia sedang menunggu seorang perempuan. Tiga tahun lalu di