Dengan perasaan yang teramat, ia meyakini bahwa dirinya seorang sanguinis-koleris. Sebuah teori kepribadian yang berusia tua yang berasaskan temperamen—koherensi perilaku. Meskipun seiring berjalannya waktu teori ini mengalami perkembangan dan penolakan, sampai kepada teori personality plus Littauer. Sanguinis-koleris berarti pribadi yang penuh percaya diri, kuat, dan riang. Watak ini senada dengan teori kepribadian Jung, yaitu ekstrovesi/ekstrover kebalikan dari introversi/introver. Keyakinan itu bertahan pada dirinya selama beberapa tahun—di hitung sejak ia bisa berpikir.
Hal yang membuat ia sangat yakin bahwa dirinya seorang sanguinis-koleris berdasarkan pada praktik hidupnya (masa itu) yang sering tampil ke muka dan menonjol dari yang lainnya.
Pada praktik-praktik hidupnya itu, memang ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang jika di analogi kan seperti sebuah pisau di atas kertas, atau memancing ikan di danau minyak. Inkoherensi atau ketidakberhubungan. Tetapi karena keyakinan tadi itu terlanjur ia sepakati, maka menunjukkan citra yang mengesankan bahwa ia seorang sanguinis-koleris.
Menonjolkan diri dan mendominasi perdiskusian pada dasarnya memberi tekanan pada dirinya. Ia harus memaksa diri untuk tetap tampil meskipun dengan kapasitas yang seadanya. Pada beberapa momen, bagi seseorang yang paham dan tajam analisisnya akan memandang sinis dirinya. Pada momen ini, sebenarnya, ia sendiri menyadari kesinisan itu. Tapi seolah-olah ia tidak menghiraukannya. Pada praktik yang ekstrim, kadang-kadang ia memutuskan berkonflik terbuka pada orang yang memandang sinis dirinya. Sekalipun itu gurunya. Tidak jarang pula sampai ke ranah fisik. Setelah perkonflikan-perkonflikan berlau, tanpa ada satupun yang menyadari, jauh di dalam dirinya tesimpan penyesalan-penyesalan.
Maka kemudian menjadi semacam paradoksal, seorang yang penuh prestise itu juga seorang yang gemar berkonflik dan berkelahi. Pada satu sisi ia seorang pendominasi dan penonjol, pada sisi lain ia seorang yang rapuh perasaannya. Orang-orang yang sinis akan kemenonjolannya itu, baginya adalah sebuah hinaan.
Paradoksal lainnya, adalah sudah semestinya seorang sanguinis-koleris itu memiliki banyak teman dan mudah bergaul (adaptif). Tapi nyatanya, ia kebalikannya. Keramaian dan orang-orang baru adalah sebuah siksaan. Sehingga tidak jarang, beberapa orang yang berwatak sanguinis sejati melabeli dirinya “sombong”.
Paradok-paradok ini menjadi pikiran yang berkepanjangan bagi dirinya. Di tambah, semakin hari semakin berkurang lingkaran pertemanannya. Label orang-orang atas dirinya sering pula ia ungkapkan dalam puisi-puisi dan tulisan-tulisan. Ia sadar benar, mengajak mereka bertikai secara terbuka lagi hanya akan membuat ia semakin kehilangan identitas dan di benci.
Pergolakan batin yang kian hari kian tajam. Membuat ia harus merenung panjang pada tiap-tiap sepi dan malam. Siapa dirinya sebenarnya?
Sampailah pada satu waktu, sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan. Selama ini beberapa guru menyebut dirinya watak pemikir, tapi hal itu luput dari pikirannya. Bahkan ketika mengetahui itu, ia sendiri malu mengakuinya. Bukan karena hal itu buruk, tetapi publik tidak akan menerimanya, bahwa nyatanya ia seorang melankolis.
Benar, ia malu untuk mengumumkan itu kepada publik. Tapi sebenarnya ia tidak harus mengumumkan itu. Paradoksal dan pertikaian batin itu akhirnya terjawab setelah bertahun-tahun. Bahwa selama ini, sayap-sayap murung (watak melankolik) itu memaksa diri menerbangkan keriangan, menebar optimisme, serta menipu diri sendiri. Seorang melankolis berpraktik sanguinis-koleris—sungguh sebuah inkoherensi.
Kepercayadirian yang ia layangkan selama ini adalah sebuah keterpaksaan. Pemaksaan itu bukan hanya memanaskan situasi dan merusak ritme hidup, tetapi juga membakar dirinya sendiri.
Seperti pada sebelumnya, di dalam dirinya yang jauh, ia menyesalinya, maka dengan penuh kesadaran ia menginsyafkan diri. Meskipun praktik emosionil berupa “amarah-berang” masih sering mengemuka, itu hanyalah manifestasi dari hatinya yang rapuh dan sensitif. Tetapi telah pula ia putuskan untuk menanggalkan praktik-praktik lama yang merusak nilai kemanusiaan. Memanusiakan manusia berarti pula menghormati hak-hak manusia lain untuk juga mendapatkan kesempatan mengekspresikan diri.
Comments
Post a Comment