Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Thusi atau lebih akrab dikenal Imam al-Ghazali adalah seorang ulama, teolog, ahli fiqh, ahli pikir, dan ahli filsafat islam. Ia menuntut ilmu kepada para ulama termuka, seperti Ahmad al-Radakani dan Imam al-Haramain. Selain pernah menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizhamiyyah, beliau juga pernah bekerja di istana kesultanan seljuk. Maka, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa beliau memiliki hidup yang berkecukupan secara dunia. Tapi, dunia tetaplah dunia, ia bersifat fana. Diberinya senyuman padahal hakikatnya umpatan. Diberinya tangan kasih padahal hakikat sebilah pedang. Diberinya kenikmatan sejatinya semu. Maka kemudian kesemuan atas dunia ini membawa Imam al-Ghazali kepada suatu pergolakan batin—antara dunia dan akhirat. Pergolakan ini ia narasikan sendiri di dalam autobigrafinya:
“suatu hari aku berniat meninggalkan bagdad dengan semua lingkungannya, tapi keesokan harinya pikiranku berubah lagi… keinginan terhadap dunia menarikku dan mengikatku agar tetap bertahan. Sebaliknya, suara iman berseru, ‘pergilah! Pergilah! Umurmu hanya tersisa sedikit lagi, sedangkan perjalanan yang harus kau tempuh masih panjang. Semua pengetahuan dan amal perbuatan yang menjadi milikmu hari ini hanyalah hiasan mata dan kebanggaan. Jika sekarang engkau tidak melakukan persiapan untuk akhirat, kapankah lagi kau akan melakukannya?”
Dia menang melawan godaan dunia tersebut. Di sisa usianya, ia memutuskan untuk meninggalkan kesenangan dunia dan memilih jalan sufistik. Jalan ini ia pilih tidak lain karena kesadaran dan keyakinannya atas kepastian datangnya maut dan hari kiamat. Sehingga hal ini mempengaruhi tema tulisan-tulisannya di fase akhir perjalanan hidupnya.
Di dalam buku ‘’Metode Menjemput Maut” beliau menasehati kita semua agar tidak takut mati dan tidak terhasut oleh godaan dunia dan, agar memperbanyak mengingat mati. Apabila manusia telah duduk kesadarannya bahwa mati itu suatu kepastian, maka ia tidak akan berlebihan dalam mengejar dunia. Tetapi, kita juga mesti adil dalam melihat ini. Bahwa al-Ghazali memutuskan memilih jalan sufistik setelah merasai bagaimana hidup dalam tabung dunia dengan segala pernak-perniknya. “kejarlah akhirat tapi jangan lupakan dunia” cukuplah menjadi tanda bahwa dunia bukan sesuatu yang haram. Dan kita dewasa ini, dengan kehidupan yang penuh tantangan sebab dari perkembangan teknologi dan ideologi akan sangat sulit untuk melepaskan dunia seluruhnya, lebih-lebih memilih jalan sufisme. Namun, disamping itu apa yang beliau nasehatkan kepada kita, cukuplah menjadi dasar bagi kita apabila belum mampu melepaskan jubah dunia itu seluruhnya maka sekurang-kurangnya seimbang memosisikan kepentingan akhirat dan dunia. Mengupayakan dunia dengan sewajarnya atas alasan untuk tetap bisa hidup dan, dengan tidak melupakan kematian dan akhirat sama sekali.
Pada posisi bersikap sewajarnya, kita akan terjauh dari sifat ‘berpanjang angan-angan. Sebab Imam al-Ghazali mengatakan, faktor berpanjang angan-angan tidak lain karena bodoh dan cinta dunia.
tak seorang pun yang dapat memuaskan hasratnya; sebab satu hasrat akan disusul oleh hasrat lainnya
Terkini kita sedang menghadapi ujian, ujian yang melanda bukan hanya Indonesia tetapi dunia. Dimana wabah yang mereka sebut dengan Covid-19 menghantui mereka siang dan malam. Telah ribuan manusia mati karenanya, dan entah berapa jumlahnya yang sedang dalam perawatan medis. Sementara di Indonesia sendiri, telah mencapai ribuan yang terdampak dan telah ratusan orang yang meninggal dunia—maka muncul lah perintah agar masyarakat melaksankan social distancing dalam rangka memutus penyebarannya. Pada posisi ini, kita sebagai umat muslim dihadapkan pada kebimbangan. Antara perintah tegas syariat dan ancaman Covid-19. Apabila beberapa orang menyatakan siap mati demi melaksanakan syariat, sementara yang lain tidak siap, lalu bagaimana? sementara kita sedang berhadapan dengan penyakit menular. al-Ghazali mengutuk sikap cinta dunia dan takut mati. Dalam konteks ini alasan apa yang paling logis kalau tidak karena dunia ketakutan-ketakutan itu lahir? Ini yang membuat kita semua bimbang.
Namun, kebimbangan itu tidak perlu kita diskusikan lebih tajam lagi. Karena islam sebagai agama yang tegas sekaligus toleran memiliki jalan untuk menghadapi setiap kesulitan-kesulitan pelaksana syariat dengan prinsip pengecualiannya. Yang perlu kita bahas lanjutan adalah mengenai ketakutan-ketakutan mereka akan kematian sehingga membunuh rasa kemanusiaan dengan dalih keamanan. Barangkali kita semua sudah mendengar dan melihat sikap-sikap tidak berkemanusiaan mereka. Lebih-lebih yang paling memilukan ketika mereka menolak mayat dengan berbagai alasan. Padahal inti dari kesemua alasan itu dapat kita pahami, yaitu takut akan kematian.
Bagaimana mungkin penolakan itu dapat hadir. Sementara mati itu adalah pasti bagi setiap manusia. Kalau tidak mati karena hal ini, maka ia akan mati karena hal lainnya.
Rasulullah Saw. Bersabda, “Manusia itu dikepung oleh 99 macam sebab kematian; jika semua sebab itu gagal mengenainya, dia pasti tidak bisa mengelak dari usia tua.” (Tirmidzi, al-Qiyamah, 22.)
Bukan pula kita sedang menantang Covid-19. Tetapi tetap masih dalam konteks pembicaraan diatas. Penyebaran ketakutan itu ternyata lebih cepat dari Covid-19 itu sendiri. Jika Covid-19 telah menjamah ribuan orang maka ketakutan telah menjamah hampir seluruh penduduk Indonesia. Media-media dan mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab menebar benih-benih ketakutan itu, sehingga muncrat dan mengenai setiap orang yang melihat, mendengar, dan membacanya. Sekali lagi kita sedang tidak dalam rangka menantang suatu penyakit, bukan karena wujud penyakitnya tetapi penantangan semacam itu identik dengan keangkuhan. Ketakutan-ketakutan yang membunuh rasa kemanusiaan lah yang harus di lawan.
Catatan: Tulisan ini Refleksi dan Parafrase dari buku terjemahan Ahsin Mohamad ”Metode Menjemput Maut” Karya Imam al-Ghazali
Comments
Post a Comment