Skip to main content

Tuan yang Hilang

oleh: agung hidayat

Aku membaca kalimat terakhir yang di bisikkan oleh hatinya. Aku bisa membaca apa yang ia pikirkan dan rasakan. Aku dan dia seperti telah menjadi satu kesatuan. Meskipun kadang aku harus berbohong untuk menjaga agar tak tumbuh keinginan yang berlebihan. Aku dapat membacanya, hatinya membisikkan kalimat nan getir “aku tak rela kau berpaling”. Seketika aku menangis dan ia tak tahu.
*
Nama ku Aisyah. Aisyah Putri Zalecha. Kata ibu ku, ayah ku memberi nama itu karena ia ingin aku seperti Ratu Zalecha dari Kesultanan Banjar. Kesultanan Banjar adalah sebuah Kerajaan di hutan belantara Kalimantan yang kini telah hilang. Meskipun kesultanannya telah hilang namun ketangguhan dan ketabahan sang Ratu masih melegenda. Ayah ku ingin aku seperti dia.

Kini aku telah menjadi seperti apa yang ayah ku inginkan. Orang-orang telah melihat ku sebagai sosok gadis yang tabah dan berani. Meskipun mereka tak mengetahui untuk menjadi tabah dan berani ada harga yang harus di bayar. Bukan dengan uang, tapi kerelaan. Karena bagiku tabah berarti menutupi segala kelukaan dengan senyuman. Tidak murah bukan?.
*
Aku akan menceritakan sebuah kisah. Kisah ini terjadi beberapa waktu sebelum aku menikah. Kisah ini menceritakan tentang aku dan seorang manusia aneh. Kalian pasti tidak tahu orangnya yang mana. Karena memang dia menutup diri dari banyak kehidupan. Katanya, “aku adalah manusia asing di bumi ini.” Dia merasa memiliki kesulitan dalam membangun hubungan sosial, entah kenapa. Lalu kemudian aku datang, menawarkan pertemanan padanya.

Namanya adalah Jihad. Lengkapnya, Zulkarnaen al-Jihad. Aku tak tahu bagaimana keluarganya dan darimana asalnya. Yang aku tahu, ia menjadi sahabat yang baik untuk ku dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ya, persahabatan ku dengannya berlangsung sekitar dua tahun. Kedekatan yang intensif sekitar 6 bulan. Sementara sisanya hanya ketidakpastian-ketidakpastian.
*
Saat itu malam begitu dingin. Hujan baru saja reda dan masih ada sisa-sisa air yang jatuh dari atap rumah. Suara katak dan jangkrik bersahut-sahutan. Aku tenggelam dalam ketermenungan. Lalu tiba-tiba aku teringat Jihad yang sudah berbulan-bulan tak ada kabar. Ku raih hape akan ku coba menghubunginya. Tapi aku khawatir mengganggu karena jam sudah menunjukkan pukul 00:30 WIB. Desa kami masih menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun. Tak baik menghubungi orang lain tengah malam begini. Tapi aku ingin tahu kabarnya. "Ah, biar saja. Biar saja ku langgar dogma desa untuk sebuah kabar, lagi pula tak fatal." Bisik ku dalam hati. Lalu ku telpon. Jihad tak mengangkatnya. ku ulangi sekali lagi dan dia tidak juga mengangkatnya. mungkin dia sudah tidur. Lalu ku kirim pesan singkat. “Assalamu’alaikum Jihad. Apa kabar mu? Aku rindu”. Setelah itu aku merebahkan badan dan pelan-pelan memejamkan mata.

Subuh hari saat aku terbangun ku raih hape barangkali Jihad membalas pesan ku. Tapi ternyata tak ada pesan darinya. Hanya pesan dari berbagai laki-laki buaya yang memenuhi hape ku. Memang kadang laki-laki yang tak di undang sering menganggu kehidupan perempuan.

Pada hari-hari berikutnya aku mencoba menghubungi Jihad. Tapi tak ada juga balasan darinya. Sekali, dua kali, sampai beberapa kali. Aku bingung kenapa Jihad menghilang begitu saja. Apakah dia telah melupakan ku. Padahal di atas jembatan Maredan, sebuah jembatan yang tinggi, kami pernah bersepakat untuk selalu dekat. Kenapa dia melupakannya begitu saja.

Dalam keadaan yang serba rindu. Aku mencari kabarnya dari waktu ke waktu. Andaikan Jihad menginginkan perpisahan kenapa ia tak mengatakannya dengan jujur. Lagi pula aku tak akan marah. Mungkin hanya sedikit kecewa.

Pada suatu ketika di sore yang mendung. Aku duduk di teras depan rumah, melihat anak-anak desa bermain Gasing. Sebuah permainan tradisional masyarakat melayu. Konon permainan Gasing sudah dikenal di pulau Natuna (Melayu Riau) jauh sebelum penjajahan Belanda. Aku jadi teringat perkataan Jihad. Kala itu kami berdua sedang melihat perlombaan Gasing disebuah Event Kebudayaan Melayu di kota Siak. Jihad mengatakan “Gasing yang sedang berputar mengajarkan pada kita sebuah kestabilan dan kedinamisan. Bahwa agar manusia bisa tetap seimbang, manusia harus terus bergerak dalam hidupnya.” Mungkin karena ini pula Jihad terus bergerak—hingga lupa pulang.

Dalam ketermenungan ku sambil melihat anak-anak itu bermain. Tiba-tiba hape dalam genggaman ku bergetar. Tanda pesan masuk. Sengaja ku buat mode getar, karena aku tak begitu suka kebisingan.

Pengirim: Jihad

Aku tak dapat mengekspresikannya dalam kata-kata. Aku merasa sangat senang, segera saja ku buka pesannya.

“Aisyah?”

“Ya, kenapa baru menghubungi ku. Kau kemana aja?” lalu ku kirim

Beberapa saat kemudian ia membalasnya “maaf, aku baru menghubungi mu. Tapi sungguh ini bukan keinginan hati ku. Aku terpaksa harus memutus kontak dengan siapapun karna aku sedang berjuang untuk sebuah hal. Maafkan aku, Aisyah”

“apa yang sedang kau perjuangkan? Sampai tak pernah menghubungi ku selama itu?”

“aku gak bisa cerita lewat hape. Ceritanya panjang. Mata kita harus saling menatap. Kapan ada waktu mu untuk ketemu?”

“tergantung kapan kau akan kesini. Aku selalu bisa, untuk mu. asalkan gak tengah malam”

“hmm, kau ini masih aja pandai bercanda. Oke, dua minggu lagi kita ketemu, ya”

“kenapa harus nunggu dua minggu? Kau tak takut kalau lusa aku mati, dan tak ada waktu lagi untuk ketemu dengan mu”

“kau ini bicara apa? kalau kau mati siapa lagi yang akan mengerti aku. Hmm, aku lagi nyelesaikan tulisan. Dalam dua minggu ini aku harus nyelesaikan 12 puisi. Kalau puisi ini tak selesai maka aku tak makan dan tak punya ongkos pulang. Semoga kau mengerti, ya sahabat ku”

“baiklah, ku tunggu kau dua minggu lagi.”

“Okee siap. Kau tunggu aku. Lalu kita pergi ke jembatan tinggi. Yaudah dulu ya. Aku mau lanjutkan baca buku Aan Mansyur untuk ngebantu supaya puisi ku sedikit bernyawa. Kau baik-baik disana, jangan lupa isi tubuh mu dengan nutrisi. Aku menyayangi mu” Tulis Jihad

Ku baca pesan penutupnya. Aku memejamkan mata. Ada rasa senang dan sedih. Aku senang karena Jihad telah menghubungi ku setelah sekian lama menghilang. Dan aku bersedih karena satu minggu lagi akan datang seorang pria bersama keluarganya menemui orang tua ku, untuk melamar ku.
*
Satu minggu telah berlalu. Malam nanti pria itu akan datang kerumah ku. Aku ingin menghubungi Jihad menyampaikan yang sejujurnya. Tapi aku takut ia tak akan mau lagi menghubungi dan bersahabat dengan ku. Sebab Jihad pernah mengatakan “persahabatan kita akan tetap berlangsung selama diantara kita belum ada yang menikah. Bersahabat ketika diantara kita sudah ada yang menikah sama saja mengkhianati sesuatu yang sah”.

Sehabis waktu Isya’ pria itu datang bersama kedua orang tuanya. Membawa bingkisan seperti yang terjadi pada umumnya saat hendak lamaran. Kedua orang tua kami berbincang, sementara aku menundukkan kepala. Bukan karena aku menghindari pandangan. Tapi karena kepala ku dipenuhi pikiran tentang masa muda ku yang akan lenyap dan Jihad. Tiba-tiba ayahku menepuk pundak ku, ia menanyakan bagaimana keputusan ku. Aku terdiam beberapa saat sambil mata ku melirik pria itu dan kedua orang tuanya, persis seperti mata seorang manusia yang sedang mencari jawaban dalam kebingungan. Lalu aku menatap kedua orang tua ku. selama ini kedua orang tua ku membesarkan ku dengan penuh kesabaran. Aku tak ingin mengecewakan mereka. Dengan meyakinkan diri bahwa ini nasib terbaik, akupun mengangguk.

Acara pernikahan akan dilangsungkan 9 bulan lagi. Selepas pria itu mendapatkan gelar sarjananya.
*
Satu minggu kemudian di subuh yang dingin Jihad mengirim pesan pada ku. “Aisyah, pagi ini aku pulang ke Siak. Ku harap kita bisa ketemu” Ku baca pesan singkat Jihad dengan penuh kesedihan. Aku tak tahu harus bagaimana. Disatu sisi aku ingin berjumpa dengan Jihad. Tapi disisi lain aku takut orang tua ku tahu dan mereka marah lalu mengusir ku dari rumah. Dalam hati aku berkata “Maafkan aku Jihad. Maafkan aku. Kau pernah mengatakan kau takut kita terpisah oleh nasib yang berbeda. Dan kini tanpa ku minta, kuasa nasib itu memang nyata”

Andaikan Jihad tak pernah menghilang. Mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi seperti yang dikatakan oleh seorang penulis perempuan ternama “Kita bisa memesan bir, namun tidak bisa memesan takdir”.
Biarlah rencana-rencana yang pernah kami buat menguap ke udara menjadi bintik-bintik awan lalu jatuh menjadi hujan, yang mendinginkan malamnya dan malam ku.









Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Islam Tidak Perlu Sufiks -Isme

Oleh : Agung hd Kata Islam merupakan kata benda (masdar) dari kata kerja aslama [fi’il madhi/waktu lampau] dan yaslimu [fi’il mudhari’]. Kata Islam berarti tunduk, patuh, pasrah, berserah diri, damai, dan selamat. Semua makhluk yang ada di bumi berislam [berserah diri, patuh, dan tunduk] kepada Allah Swt. Mereka semua bersujud, tunduk, dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Seorang muslim yang taat akan terima dan ikhlas atas aturan yang telah ditetapkan oleh Alllah Swt. Ini merupakan konsep dari keberserahan diri yang ada pada pengertian Islam itu. Penolakan pada satu saja aturan satu saja aturan Allah Swt. Menunjukkan sikap ketidakberserahan secara menyeluruh. Dan penolakan atas hukum Allah Swt. Berarti mengingkari-Nnya. Secara terminologis, Islam adalah agama yang di turunkan oleh Allah Swt. Kepada Rasulullah SAW. Melalui perantaraan malaikat Jibril untuk di sampaikan kepada manusia sebagai bimbingan, petunjuk, dan pedoman hidup demi keselamatan dunia akhirat. Karena Islam

Manusia Itu Laut

Perlu kita pahami bahwa manusia (Mikrokosmos) adalah miniatur alam semesta (Makrokosmos); luas, dalam dan tidak dapat di jangkau sepenuhnya. Maka menyerang kepribadian seseorang secara liar bukan lah keputusan yang arif. Engkau boleh membedah manusia dengan pisau bedah yang bernama Psikologi, Filsafat, Antropologi atau apapun itu. Tapi engkau juga harus mengerti, manusia bukan lah buku yang bisa kau tuntaskan; manusia itu lautan. Apabila kau temui suatu titik dimana seolah-olah engkau memahami seseorang, tidak lain itu hanyalah bersifat dugaan, atau kecuali hanya sebagian kecil dari keseluruhan tentangnya. Mungkin engkau pernah mendengar. Bahwa setiap manusia memiliki satu, dua atau lebih hal yang hanya ia dan Tuhannya yang tahu — dalam kata lain, ia merahasiakannya. Terlepas dari motif dibaliknya. Itu lah mengapa manusia di sebut lautan atau miniatur alam semesta. Manusia menyimpan sebuah potensi. Dan apabila potensi itu mengemuka, dapat memberi dampak besar kepada lu

Stasiun Jakarta Kota

Sesampainya di stasiun Jakarta Kota siang itu ia berjalan ke arah kursi panjang dengan raut sumringah, lalu ia duduk. Ia duduk dengan posisi yang anggun menandakan bahwa ia seorang yang santun. Sesekali ia membuka HP, sesekali ia membaca buku. Tanpa memerdulikan pandangan orang-orang ia duduk selama beberapa waktu. Hari itu stasiun tidak terlalu ramai, karena memang itu adalah hari minggu. Pada hari minggu biasanya orang-orang Jakarta memilih berlibur ke puncak atau menghabiskan waktu di rumah, udara Jakarta kurang bersahabat buat bermain-main. Namun siang itu udara agak sejuk, karena langit di luar sana mendung. Tetapi iklim Jakarta tetaplah kekanakan, sulit di duga akhirnya. Laki-laki itu beranjak dari kursi dan berjalan menyusuri tembok stasiun sembari melihat-lihat sekitaran. Wajahnya sumringah memancarkan semangat harapan. “ Menunggu satu jam bukanlah waktu yang lama untuk sebuah hal penting. ” Bisiknya dalam hati. Ia sedang menunggu seorang perempuan. Tiga tahun lalu di