oleh : Agung hd
Eksploitasi dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia oleh kapitalis asing atau domestik bukan satu hal baru. Jauh sebelum orde baru melakukan liberalisasi aset negara
dan sumber daya alam, asing telah menanamkan pengaruhnya di Indonesia yang saat
itu bernama Hindia Belanda terkait eksploitasi sumber daya alam. Pada masa
kolonial, melalui Undang-Undang Agraria 1870, pemerintah membuka pintu bagi
masuknya modal asing di sektor perkebunan. Sejumlah pengusaha Eropa pun
berdatangan. Pembukaan Terusan Suez pada 1869, yang memangkas waktu perjalanan
Hindia Belanda-Eropa, membuat jumlah investor asing meningkat. Begitu juga
ketika permintaan karet dunia melonjak. Sektor yang bisa dimasuki investor
asing kemudian diperluas, termasuk ke pertambangan dan perbankan. Nilai
investasi asing di Hindia Belanda pada 1930 mencapai 4 milyar gulden.
Hingga pada masa orde lama yang kental akan jiwa nasionalisnya,
pemimpin-pemimpin orde lama lebih terpikat kepada sistem ekonomi yang di
suarakan oleh kaum sosialis yang lebih berpihak kepada rakyat dari pada
kapitalisme diasosiasikan sebagai kekuasaan kapital.
Pemerintah orde lama teguh
untuk mencegah keterlibatan asing atas pembangunan industri di Indonesia
meskipun dalam perjalanannya tak sepenuhnya tidak ada campur tangan asing di
dalam pembangunan ekonomi Indonesia masa orde lama terbukti ketika PM Djuanda
mulai membuat UU penanaman modal asing, meskipun pemodal saat itu lebih banyak
yang menolak karena beberapa persoalan. Pergulatan ini sampai pada puncaknya
ketika UU penanaman modal asing di buka selebar-selebarnya pada masa
pemerintahan orde baru tahun 1967. Sehingga terjadi liberalisasi besar-besaran
atas aset dan sumber daya alam Indonesia, termasuk eksploitasi tambang di Irian
Jaya oleh Freeport dilakukan pasca ini.
Sementara Riau sebagai salah satu provinsi yang terkenal dengan kekayaan
sumber daya alamnya tidak lepas dari pengaruh kapitalis asing dan domestik. Sejak
1958 dan mulai masif pada tahun 1971 Minyak dan Gas Bumi [MIGAS] Riau khususnya
Blok Rokan telah di kuasai oleh asing di bawah PT Chevron Pacific Indonesia sebagai
anak dari Chevron Corporation perusahaan energi asal Amerika. Total produksi
sejak 1958 hingga 2017 telah mencapai 11,5 miliar barel.
Chevron mengklaim telah memberikan pemasukan yang besar kepada
negeri ini disamping pengelolaannya atas Migas.
Namun, apa yang telah diberikan oleh mereka baik itu pendapatan pemerintah,
PDB, dan pendapatan pekerja tidaklah sebanding dengan apa yang mereka dapat
atas miliaran barel Migas itu. Karena tentu manfaat yang kita dapat akan lebih
besar jika kita mengelolanya secara mandiri.
Penguasaan sumber daya alam ini bukan hanya terjadi di sektor Migas
tetapi juga terjadi pada penguasaan lahan. Bahkan pihak swasta dan perusahaan
luar negeri mendominasi atas penguasaan lahan sawit di Riau. Sekitar 80 persen
lahan di Riau dikuasai oleh korporasi multinasional dan terbesar dikuasai oleh
Sinar Mas dan APRIL Group.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, dimana posisi umat dalam
menerima hasil dari kekayaan alam ini? Apakah hasil dari kekayaan ini hanya
dirasakan oleh oligarki kapitalis dan pejabat yang ikut memuluskan aksi mereka?
Berpuluh tahun Bumi Lancang Kuning berada dalam cengkraman kapitalisme. Mau sampai
kapan?
Ini adalah realitas yang terjadi saat ini. Bagaimana konglomerat
menguasai kekayaan alam hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kaum oligarki
kapitalis menerapkan secara baik teori Adam Smith “kapitalisme laissez-faire”
mereka berhasil memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Tanpa peduli dengan nasib
jutaan rakyat yang hidup dalam kemelaratan.
Sementara islam tidak pernah mengajarkan manusia untuk hidup dalam
keserakahan. Bahkan islam mengajarkan manusia untuk hidup dalam kepeduliaan
sesama manusia. Penguasaan kekayaan alam oleh kapitalis asing maupun domestik
bukanlah cerminan dari ajaran islam. Apa yang ada di alam baik energi maupun
air merupakan milik umat. Oleh sebab itu kebermanfaatannya harus kembali kepada
umat.
Rasûlullâh Saw. bersabda :“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal;
air, padang dan api” (H.R. Ahmad).
Dalam riwayat
yang lain, Rasulullah bersabda:
Rasûlullâh Saw. bersabda: “Orang-orang (Masyarakat) bersekutu dalam
hal; air, padang gembalaan dan api” (H.R. Abû ‘Ubaid).
Pengelolaan kekayaan alam jika berpegang pada nilai-nilai islam
tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus
dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus
dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk. Dalam pandangan sistem ekonomi
Islam sumber daya alam termasuk dalam kategori kepemilikan umum sehingga harus
di kuasai oleh negara berdasarkan dalil Abyadh bin Hamal.
Oleh karenanya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat merupakan
satu bualan besar jika kita masih saja berada dalam cengkraman oligarki
kapitalis. Mau sampai kapan Riau berada dalam cengkraman mereka?
Referensi:
Nb: Seluruh referensi diakses pada tanggal 3 maret 2019 mulai jam 3:32
sampai dengan selesai
Comments
Post a Comment