Oleh: Agung hd
Sejarah kita mencatat bahwa jaman
perjuangan dan perlawanan para pemuda dipelopori oleh kaum terpelajar alias
mahasiswa. Di bagian kaum pemuda nasiolanis perjuangan kaum intelektual di
negeri ini dimulai ketika Budi Utomo
yang diisi beberapa anak muda terpelajar yang belajar di Stovia, kala itu
sukses menjadi organisasi pemuda yang berhasil
menjadi embrio perlawanan republik ini.[1] Begitu
juga dipihak kaum agamis lahir Jong Islamiten Bon (JIB) yang di pelopori oleh
Muhammad Natsir, Mohammad Roem, Kartosoewiryo dan Haji Agus Salim. Mereka ini
adalah orang-orang terpelajar pada masanya yang menginginkan kemerdekaan atas
Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai islam.
Maka mahasiswa sebagai kaum terdidik
tidak dapat diremehkan pengaruh dan kontribusinya terhadap negeri ini. Dalam
perjalanan sejarah diatas kaum terdidik merupakan ruh dalam perjuangan
Indonesia.
Mengingat eksistensi mahasiswa pada
saat pra-kemerdekaan dikenal sebagai sosok yang sangat membahayakan bagi
keberadaan para penjajah di Nusantara, karena kaum inilah yang memiliki
kontribusi besar dalam upaya menyetir perjuangan kemerdekaan. Ini terbukti dari
Mahasiswa turut andil dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan, walaupun saat itu
tercatat bahwa gerakan mahasiswa masih sangat terbatas keberadaannya.[2] Namun
setidaknya dari jumlah mereka yang bisa dihitung lahir semangat murni yang
menginginkan pembebasan atas negeri ini.
Saat ini kita telah melalui puluhan
tahun kemerdekaan. Juga telah banyak kaum terpelajar yang lahir dari
Universitas-Universitas baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Terkhusus untuk
mahasiswa Riau yang belum beberapa lama ini sempat buming karena aksinya dalam
melakukan kritik kepada pemerintah, yang di komandani oleh Universitas Islam
Riau. Apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa Riau itu sungguh suatu keberanian
bagi seorang mahasiswa. Namun, bagaimana dengan suara dan gerak mahasiswa Riau
perantauan?
Beberapa minggu lalu saya mengadakan
suatu kegiatan diskusi bersama Himpunan Mahasiswa Riau di Anjungan Riau, TMII Jakarta
dengan menghadirkan Syarwan Hamid dan beberapa pejabat pemerintahan riau. Kami diskusi
terkait sumber daya alam Riau khususnya minyak bumi dan gas. Namun ada hal yang
menyedihkan dan mengecewakan dalam acara itu, yaitu dimana hanya sekitar
sepuluh orang mahasiswa Riau yang kuliah di Jakarta yang menghadirinya. Syarwan
Hamid sebagai tokoh Riau menyatakan kekecewaan itu dengan mengatakan, yang
kurang lebih seperti ini “dalam bayangan saya sebelum kesini (lokasi acara),
saya membayangkan akan berhadapan dengan kerumunan mahasiswa Riau” lalu seolah-olah
beliau menyatakan kepasrahan bahwa seperti inilah kekuatan mahasiswa Riau,
inilah realitas mahasiswa Riau. Bagaimana kita akan melakukan revolusi untuk
Riau jika kekuatan yang kita miliki hanya sebatas ini. Ini adalah tugas
mahasiswa yang hadir di acara itu, melakukan gebrakan atas kenyataan yang
dihadapi oleh mahasiswa Riau.
Kita tidak tahu kapan Riau akan
melahirkan pemuda-pemuda intelektual dalam menjawab problematika yang ada di
Riau.
Memang di sisi yang lain gerakan
mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu
elit yang menyetir media massa nasional. Mereka seringkali terjebak pada
romantisme masa lalu, seperti seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian
gagal move-on. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar
dengan mendatangkan artis papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan
event organizer (EO)? Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap
berada di rel awalnya untuk mengasah para intelektual muda yang mampu
memperjuangkan kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa?[3] Kita
merindukan mahasiswa yang semacam itu.yang rela berjuang atas nama kebenaran
dan keadilan.
Namun, mahasiswa yang semacam itu
tidak bisa di dapat dengan hanya mengandalkan latar belakangnya sebagai
mahasiswa. Karena Universitas-Universitas tidak bertujuan untuk melahirkan
mahasiswa yang revolusioner. Universitas hanya sebagai wadah untuk mendapatkan
gelar sarjana tanpa peduli dengan isi kepala mahasiswa.
Mahasiswa yang revolusioner semacam
ini hanya dapat dilahirkan dari bacaan yang banyak. Baik itu membaca buku
ataupun membaca keadaan. Pengalaman pemikiran dan pengalaman lapangan
(organisasi) memungkinkan untuk terpantiknya mahasiswa agar berpikir kritis
terhadap realitas yang terjadi. Kita tidak butuh mahasiswa kutu buku yang hanya
berdiam diri dan sibuk mempertinggi kedudukannya tapi acuh terhadap realitas. Tapi juga mahasiswa yang sedang dalam pergerakan harus di isi kepalanya dengan
bacaan-bacaan, agar dalam setiap langkah geraknya tidak di penuhi kenaifan.
Referensi:
[1] http://kabarkampus.com/2017/08/mahasiswa-dan-peran-intelektual-di-era-teknologisasi/
[2] https://geotimes.co.id/opini/reformulasi-nalar-paradigmatik-dan-transformasi-gerakan-pmii/
[3]https://indoprogress.com/2015/03/kemana-arah-gerakan-mahasiswa-sekarang-dari-refleksi-menuju-aksi/
Nb: seluruh referensi diakses pada tanggal 6 maret 2019 jam 01:24 sampai dengan selesai
Comments
Post a Comment