oleh: Agung hd
Sjahrir pernah tuliskan dalam surat cintanya "Apa
yang tidak aku temukan di dalam filsafat. Aku temukan pada dirimu"
***
Ada yang mengatakan aku berasal dari sebuah tanah
yang dahulu di pimpin oleh Raja yang disegani. Tapi Raja itu mati dalam rangka
mempertahankan kehormatan tanahnya. Ada juga yang mengatakan aku berasal dari
tempat yang jauh dari keramaian, sebuah pantai yang sunyi di pinggir hutan
belantara. Aku tak tahu harus percaya kepada yang mana. Tapi aku percaya Tuhan
melahirkan ku ke bumi untuk sebuah misi.
Sebenarnya aku tak terlalu peduli siapa nenek
moyang ku. Apakah mereka ningrat ataupun ploretariat. Apakah darah yang
mengalir ditubuh ku memiliki benih pejuang atau sebaliknya. Aku tak peduli.
Meskipun sebenarnya dalam dunia ku kini. Silsilah dianggap sebagai sesuatu yang penting baik untuk keperluan cinta ataupun kuasa. Yang intinya
banyak orang menjadikan silsilah untuk bertahan hidup dan beranjak. Memang
modal silsilah akan mempermudah. Tapi bukan berarti orang seperti ku tak
memiliki harapan dan kesempatan.
Aku memiliki hak untuk mendapatkan cinta semua
orang. Aku juga memiliki hak untuk beranjak. Tapi aku tidak memiliki keinginan
itu semua. Aku hanya ingin memiliki cinta yang ku cintai. Aku hanya ingin
beranjak bersama orang yang ku cintai-lalu memberi cinta kepada orang-orang
yang terluka dan tertindas.
Memang walaupun sebenarnya tidak mudah
mendapatkan cinta yang ku cintai. Mengingat aku berasal dari tempat yang tidak
diketahui. Kadang aku merasa bagaikan Zainuddin yang malang. Tapi tidak, aku tak
ingin di sama-samakan dengan siapa-siapa. Lagi pula Zainuddin itu hanya tokoh
fiktif dari imajinasi Hamka.
Dalam ketidakjelasan ini, aku hanya bisa mengamini harapan-harapan ku. Semoga suatu saat kelak akan ada sesosok manusia
yang dengan rela mencintai ku setulus hati, agar aku dapat beranjak dari
keterasingan cinta dan dunia. Sementara kini biarlah aku berjalan sendiri dalam keterasingan yang diselimuti dendam tersembunyi.
Guru kehidupan ku pernah mengatakan "hidup yang
penuh dendam akan berakhir dalam kebencian. Jiwa yang mati dalam kebencian tak
akan merasakan kasih sayang Tuhan."
Aku menangis setiap kali mengingat perkataan
itu. Aku bersimpuh dalam kesunyian “ oh Tuhan, aku belum mampu membunuh segala
kebencian ku. Bila nanti aku mati dalam keadaan penuh dendam-mohon ampuni aku”.
***
Satu bulan yang lalu aku dan seorang gadis telah
berjanji untuk bertemu. Kata ku, mari kita rayakan kelulusan kecil ini—dua
bulan mendatang kami akan lulus sekolah dan akan mulai menghadapi realitas
kehidupan. Lalu ku katakan, Aku ingin menghabiskan waktu berdua dengan mu
sebelum nasib memisahkan kita di tempat dan suasana yang berbeda.
Katanya, kau ini bicara apa. Tak akan ada yang
memisahkan kita, kecuali kematian.
Kataku, kau tahu bagi ku kematian tidak hanya
soal arwah berpisah dengan tubuhnya. Tapi jika suatu saat kau berubah dan
berpaling bagiku itu juga kematian.
sebelum hari ini. Tepatnya sebelum aku bertemu
dengannya, aku memandang dunia dari sudut pandang keasingan. Hingga pada suatu
hari aku bertemu dengannya di sebuah acara yang tak pernah ku ikuti sebelumnya.
Orang-orang yang berada di dalam acara ini memiliki kalimat mantra yang katanya
dapat memberimu gairah dalam keadaan apapun. Kalimatnya berbunyi kurang lebih
seperti ini—tandang ke gelanggang walau seorang. Aku tak tahu apakah kalimat
ini juga dapat membangkitkan gairah dan semangat kalian. Tapi jujur, belakangan
kalimat ini memotivasi ku setelah ku renungi dan ku sesapi maknanya.
Ketika acara itu berlangsung dia datang
menawarkan pertemanan. Ah, aku lupa, entah aku atau dia yang pertama kali
menawarkan pertemanan. Tapi kalau aku yang memulai rasanya tak mungkin, sebab
orang-orang juga tahu aku memiliki masalah dalam membangun sebuah hubungan. Aku
berteman dengannya di mulai pada bulan puasa 2015. Kami melalui hari-hari
bersama. Aku juga sering menemuinya di kampung langit. Meskipun jarak kampung
kami agak jauh yaitu sekitar 30 menit dan harus menembus belantara sawit tapi
aku tak pernah malas untuk menemuinya. Setiap kali bertemu dengannya aku merasa
seperti berada di dimensi lain, dimensi kebahagiaan, dimensi kegirangan. Namun
ketika aku kembali ke kampung ku, aku kembali pada kehidupan nyata. Aku tak
rela. Aku ingin selalu bersamanya.
Pada hari terakhir pertemuan kami tepat ketika
sekolah mengumumkan kelulusan. Aku menjemputnya lalu pergi ke sebuah tempat
yang tinggi. Bukan gunung. Tapi sebuah jembatan yang tinggi. Dari atas jembatan
itu terlihat kampung kami yang dipenuhi perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar
dari sawit ini adalah milik kapitalis lokal, beberapa milik negara, dan hanya
segelintir yang dimiliki oleh penduduk. Beberapa saat suasana dipenuhi
kebisuan, hanya suara cerobong pabrik yang terdengar sekitar 1 kilometer
didepan kami. Dan di kejauhan ada juga sekumpulan pelajar yang berteriak-teriak
yang juga sedang merayakan kelulusan. Kami melihat kearah sungai siak yang tepat
berada dibawah jembatan, orang-orang juga biasa menyebutnya aliran sungai
jantan.
“kau tahu Aisyah, aku tak pernah takut akan
apapun. Kecuali satu” kataku memulai pembicaraan
“hm apa itu?”
“kehilangan orang yang ku sayangi” jawabku
“kenapa?”
“dulu aku pernah mencintai dan menyayangi, tapi
aku tak pernah bisa memiliki. Saat ini aku dapat melihat orang yang ku sayangi
dan aku takut kehilangannya. Tak pernah aku merasa sedalam dan sedekat ini”
“Jihad, apakah itu berarti kau menyayangi ku?”
“yaa”
“hm aku juga menyayangi mu sahabat ku”
“Aisyah, kau pernah katakan hanya kematian yang
dapat memisahkan kita. Apakah itu memiliki arti yang sesungguhnya?”
“ya, tentu saja. Kita akan terus bersahabat
sampai kapanpun, sampai kematian memisahkan”
“aku tak pernah senyaman ini. Selama ini hidup
ku dipenuhi kebencian dan dendam. Kau datang dan merubah segalanya”
“Jihad, kadang hidup ini tak bisa di tebak.
Takdir memiliki caranya sendiri. Kita tak meminta akan dilahirkan ke dunia,
meskipun aku tahu sebelum ke dunia manusia telah bersepakat dengan Tuhan atas
sesuatu. Tapi apakah nasib hidup kita di dunia juga telah disepakati sebelum
kita lahir. Jika itu benar, maka dalam keadaan apapun kita sebagai manusia
harus siap bertahan dalam kondisi apapun. Bukankah tujuan manusia untuk bertemu
Tuhannya? Jalani hidup ini sebaik mungkin. Agar kita memiliki tiket untuk
bertemu Tuhan”
“hm ya, aku paham. Tapi bukankah dalam
perjalanan manusia ada sesuatu yang menguatkan dirinya untuk meraih tujuan
hidupnya. Aku tak pernah memiliki itu. Setidaknya sebelum aku bertemu dengan
mu”
“baik kalau begitu. Maka kita harus saling
menguatkan. Aku selalu ada untuk mu dan kau selalu ada untuk ku.”
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Kamipun
beranjak pulang. Diperjalanan Aisyah membisu dan pikiran ku dipenuhi
pengharapan keabadian.
hari demi hari berlalu, hubungan kami semakin
erat. Hingga kami punya rencana untuk naik gunung berdua. Aku tak sabar rencana
itu terwujud. Tapi kadang seperti kata pepatah—merencanakan berarti menyusun
kegagalan. Rencana naik gunung itu tak pernah terwujud. Bahkan sampai ia hilang
entah kemana—hingga hari ini.
6 bulan yang lalu akhir 2018, Aisyah
menghubungi ku melalui pesan Whatshapp, katanya “Jihad, bulan depan aku
menikah. Bisakah kau datang?”
Dalam hati aku berkata "kematian tidak
hanya soal arwah berpisah dengan tubuhnya. Tapi jika suatu saat kau berubah dan
berpaling bagiku itu juga kematian"
Yang tersembunyi dalam hati ku kini bukan lagi
sebuah dendam, tapi cinta. Aku mencintai mu tanpa mengenal batas. Cinta ku
bersembunyi dalam air yang setiap hari melepaskan dahaga mu. aku mencintai mu
bukan seperti cintanya seorang manusia kepada sahabatnya. Aku mencintai mu
sebagaimana cintanya Gibran kepada Ziadah.
Comments
Post a Comment