Skip to main content

Pelajar: Dibawah Bayang-Bayang Popular Culture dan Media Sosial


Oleh : Agung hd

      Istilah ’’budaya populer’’ (cultural popular) sendiri dalam bahasa latin merujuk secara harfiah pada ”culture of the people” (budaya orang-orang atau masyarakat). mungkin itulah sebabnya banyak pengkaji budaya yang melihat budaya populer sebagai budaya yang hidup (lived culture) dan serangkaian artefak budaya yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari orang kebanyakan. Tidak hanya itu anak muda atau remaja perkotaan (remaja urban) saat ini memiliki kecenderungan untuk ikut-ikutan tentang sesuatu yang sedang buming. Pengertian budaya menurut Storey, Nur(2003:1) soal budaya anak muda dan perkotaan (Youth Culture and Urban), yaitu budaya yang dinikmati untuk bersenang-senang diantara teman sebaya, dengan menekankan pada penampilan dan gaya, dikalangan remaja atau kaum muda perkotaan.[1]
Di era globalisasi hampir semua orang memiliki keinginan untuk di kenal. Kehausan atas eksistensi diri ini adalah dampak dari perkembangan teknologi khususnya media sosial yang dengan mudah menyeberkan suatu peristiwa hingga dilihat atau diketahui oleh banyak orang. Kebutuhan ini dapat terpuaskan dengan dalam dirinya untuk bukan hanya tampil, tetapi juga untuk diperhatikan. Ada satu kepuasan psikologis tertentu jika menjadi pusat perhatian. Mencari perhatian dapat berujung pada mencari sensasi (sensation seeking).[2]
Nurhadi-Aldo, atau biasa disingkat “DILDO” kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan mulai dari orang tua keren, sampai anak muda gaul. Semua mengetahuinya. Calon presiden fiktif ini dibentuk untuk mengalihkan


perhatian dari gejolak politik yang memanas akhir-akhir ini. Presiden fiktif dijadikan bahan lawakan agar tidak sibuk bertengkar dimedia sosial. Upaya ini berhasil, beranda media sosial saya penuh dengan unggahan foto lucu Nurhadi-Aldo. Yang tadinya wajah kita tegang setiap kali membuka media sosial karena yang muncul hanya pertengkaran pertengkaran soal pilpres, sekarang bisa sedikit kendur dengan hadirnya oposisi fiktif Nurhadi-Aldo. Calon presiden ini sangat populer, hampir semua lapis kalangan mengetahuinya baik pelajar maupun pekerja. Bahkan sudah di undang oleh station tv untuk di wawancara.
Ya, kita manusia Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang populer. Apa lagi jika sesuatu itu sangat dekat dengan kehidupan pelajar zaman now. Sebut saja film drama korea yang tidak perlu di ragukan lagi kepopulerannya. Hampir semua kalangan mengetahui soal film drama korea. Bahkan sudah menjadi tontonan rutin pelajar zaman now.
Itu baru dari dari dua hal. Belum lagi game online yang menembus semua kalangan, bukan hanya pelajar tapi bapak-bapakpun ada yang memainkan game ini. Beberapa tahun yang lalu game Point Blank sempat memegang posisi terpopuler, manusia Indonesia memainkan ini. Kemudian beralih ke game Get rich, tidak bertahan lama beralih lagi ke clan of class. Budaya indonesia yang mudah terpengaruh oleh sesuatu yang populer ini memiliki dampak negatif yang tidak bisa di anggap remeh. Bahkan terakhir, manusia indoensia mulai beralih lagi ke game PUBG. Mungkin sifat mudah terpengaruh ini sebagian orang akan menganggap biasa saja. Bahkan mungkin ada yang berkata, inikan hanya menghibur diri tak masalah kalau mudah terpengaruh oleh sesuatu yang populer. Jika terpengaruh oleh sesuatu yang hanya menghibur mungkin itu biasa. Tapi tidak pernah terpikirkan kah? jika sifat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang populer ini juga akan mempengaruhi bagian kehidupan lainnya.
Saat ini suasana perpolitikan sedang panas panasnya. Berbagai macam hujatan akan sangat mudah di temui baik di media sosial maupun di media massa. Semua orang saling serang dengan argumen yang kosong dan dipenuhi kebencian.

Padahal belum tentu pengguna media sosial yang saling hujat itu mengerti persoalan politik secara keseluruhan. Bermodalkan pengetahuan parsial dengan gagahnya menghujat lawannya, begitupun sebaliknya. Bahkan hujatan-hujatan itu bisa dibawa dalam kehidupan nyata. Ini miris sekali. Tidak mungkin hal itu terjadi jika manusia indonesia khususnya pelajar dan mahasiswa melakukan hal yang tidak terpuji itu, jika kediriannya kokoh dan tidak mudah dipengaruhi. Inilah dampak dari mudahnya dipengaruhi. Sifat yang suka ikut-ikutan sangat melekat dalam diri orang Indonesia. Sifat ikut-ikutan adalah bagian dari popular culture. Pop culture atau budaya populer ini kalau tidak di bendung maka akan memiliki dampak yang serius terhadap pelajar.
Maka secepatnya kita mesti menyediakan penangkal agar pelajar Indonesia tidak mudah terpengaruh oleh sesuatu yang populer. Tetapi, melakukan sesuatu atas dasar kuat dan beralasan dan pelajar mesti menjadi manusia yang ber-prinsip.
Budaya populer atau pop culture ini adalah serpihan dari modernisasi, dan di dalam modernisasi terselip upaya-upaya untuk membaratkan yang di luar barat. Dalam era modern ini manusia mengalami krisis nilai-nilai insani, karena manusia tidak sanggup mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuan (budaya) dan teknologi (media sosial, gawai).[1] Ketidak sanggupan manusia dalam membentengi dirinya dari arus modernisasi ini menyebabkan segala sesuatu yang populer yang melintas dalam kehidupan ini langsung di terkam tanpa pikir panjang.
***
Pelajar Islam Indonesia (PII) telah mengarungi lautan juang sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Keadaan yang membuat harus hadirnya Pelajar Islam Indonesia saya rasa telah dituliskan oleh Joesdi Ghazali dalam bukunya “Islam dan Dunia Modern” meskipun ia tidak menulis kalimat Pelajar Islam Indonesia disana namun sangat jelas bahwa kekhawatiran Joeasdi Ghazali atas sekulerisme telah di utarakannya  di bagian awal buku “Islam dan Dunia Modern”.


[1] 
Pelajar Islam Indonesia (PII), mesti melakukan sesuatu atas realitas yang terjadi ini. Karena pelajar adalah target dakwah prioritas, maka mereka mesti di selamatkan dari budaya mencari sensasi (sensation seeking) yang dapat memberi dampak negatif jangka panjang.
Siapa lagi yang siap dan rela terjun menyelamatkan generasi tanpa pamrih kalau bukan Pelajar Islam Indonesia. Dalam bayangan saya, Joesdi Ghazali mendirikan Pelajar Islam Indoensia karena dapat membaca keadaan bahwa suatu saat pelajar akan terhanyut dalam arus globalisasi yang didalamnya kental dengan sekulerisme dan liberalisme. Dan sekarang telah terbukti banyak pelajar yang hanyut bahkan tenggelam disana.
Bahwa sangat masuk akal jika pop culture kemudian dapat merambah ke segala aspek kehidupan. Dan menjadi identias kaum pelajar karena memang upaya pencegahannya tidak pernah di gaungkan. Mungkin awalnya hanya ikut-ikutan soal game yang sedang populer, lalu kemudian ikut-ikutan mengomentari isu yang sedang terjadi di media sosial, lalu kemudian ikut-ikutan menghujat melontarkan kata-kata yang dapat memancing permusuhan.
Kalau tidak kita selamatkan sejak sekarang dari budaya ikut-ikutan, saya khawatir pelajar akan menjadi penerus abadi dari penghujat dan penebar kebencian yang menyebar di media sosial.

Referensi jurnal:
·           Journal.unair.ac.id, “Perilaku Remaja Urban Terhadap Pop Culture (Studi Deskriptif Perilaku Keranjingan Remaja Urban di Surabaya)”, Universitas Airlangga

·           Bing Bedjo Tanudjaja, “Pengaruh Media Komunikasi Massa Terhadap Popular Culture Dalam Kajian Budaya/Cultural Studies”, NIRMANA, VOL.9, NO. 2, JULI  2007


Referensi Buku:

·           Puteh,  Ja’far, Drs. 2000. Dakwah di era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)


Comments

Popular posts from this blog

Islam Tidak Perlu Sufiks -Isme

Oleh : Agung hd Kata Islam merupakan kata benda (masdar) dari kata kerja aslama [fi’il madhi/waktu lampau] dan yaslimu [fi’il mudhari’]. Kata Islam berarti tunduk, patuh, pasrah, berserah diri, damai, dan selamat. Semua makhluk yang ada di bumi berislam [berserah diri, patuh, dan tunduk] kepada Allah Swt. Mereka semua bersujud, tunduk, dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Seorang muslim yang taat akan terima dan ikhlas atas aturan yang telah ditetapkan oleh Alllah Swt. Ini merupakan konsep dari keberserahan diri yang ada pada pengertian Islam itu. Penolakan pada satu saja aturan satu saja aturan Allah Swt. Menunjukkan sikap ketidakberserahan secara menyeluruh. Dan penolakan atas hukum Allah Swt. Berarti mengingkari-Nnya. Secara terminologis, Islam adalah agama yang di turunkan oleh Allah Swt. Kepada Rasulullah SAW. Melalui perantaraan malaikat Jibril untuk di sampaikan kepada manusia sebagai bimbingan, petunjuk, dan pedoman hidup demi keselamatan dunia akhirat. Karena Islam

Manusia Itu Laut

Perlu kita pahami bahwa manusia (Mikrokosmos) adalah miniatur alam semesta (Makrokosmos); luas, dalam dan tidak dapat di jangkau sepenuhnya. Maka menyerang kepribadian seseorang secara liar bukan lah keputusan yang arif. Engkau boleh membedah manusia dengan pisau bedah yang bernama Psikologi, Filsafat, Antropologi atau apapun itu. Tapi engkau juga harus mengerti, manusia bukan lah buku yang bisa kau tuntaskan; manusia itu lautan. Apabila kau temui suatu titik dimana seolah-olah engkau memahami seseorang, tidak lain itu hanyalah bersifat dugaan, atau kecuali hanya sebagian kecil dari keseluruhan tentangnya. Mungkin engkau pernah mendengar. Bahwa setiap manusia memiliki satu, dua atau lebih hal yang hanya ia dan Tuhannya yang tahu — dalam kata lain, ia merahasiakannya. Terlepas dari motif dibaliknya. Itu lah mengapa manusia di sebut lautan atau miniatur alam semesta. Manusia menyimpan sebuah potensi. Dan apabila potensi itu mengemuka, dapat memberi dampak besar kepada lu

Stasiun Jakarta Kota

Sesampainya di stasiun Jakarta Kota siang itu ia berjalan ke arah kursi panjang dengan raut sumringah, lalu ia duduk. Ia duduk dengan posisi yang anggun menandakan bahwa ia seorang yang santun. Sesekali ia membuka HP, sesekali ia membaca buku. Tanpa memerdulikan pandangan orang-orang ia duduk selama beberapa waktu. Hari itu stasiun tidak terlalu ramai, karena memang itu adalah hari minggu. Pada hari minggu biasanya orang-orang Jakarta memilih berlibur ke puncak atau menghabiskan waktu di rumah, udara Jakarta kurang bersahabat buat bermain-main. Namun siang itu udara agak sejuk, karena langit di luar sana mendung. Tetapi iklim Jakarta tetaplah kekanakan, sulit di duga akhirnya. Laki-laki itu beranjak dari kursi dan berjalan menyusuri tembok stasiun sembari melihat-lihat sekitaran. Wajahnya sumringah memancarkan semangat harapan. “ Menunggu satu jam bukanlah waktu yang lama untuk sebuah hal penting. ” Bisiknya dalam hati. Ia sedang menunggu seorang perempuan. Tiga tahun lalu di